BUMN Berubah Menjadi Badan Usaha Milik Nepotisme
Jakarta- Kekhawatiran Menteri BUMN Erick Thohir, yang kerap diungkapkan adik pengusaha Boy Thohir itu dalam berbagai kesempatan, mengenai keberlanjutan transformasi SDM di BUMN akhirnya tuntas terjawab. Saya baca berita di investigator (dot) co (dot) id berjudul “Arya Sinulingga Disusul Istri Berkarier di BUMN” (12/09/2021).
Transformasi yang sempurna telah terjadi. Suami menjabat Staf Khusus Menteri BUMN dan Komisaris Telkom, istri menjabat BOD Affair Manager – Corporate Secretary Division (BUMN) Krakatau Steel. Dirut Krakatau Steel Silmy Karim membenarkan fakta posisi istri Jubir Tim Kampanye Jokowi-Maruf itu.
Itu sekadar fakta. Terserah saja cerita di belakangnya. Bisa jadi memang yang bersangkutan diperlakukan seperti calon karyawan pada umumnya yang mengikuti seleksi dan terpilih karena kemampuannya. Tapi, apa iya itu bisa terjadi murni tanpa peran/koneksi/pengaruh sang suami?
Apapun itu, alasan bisa dicari. Prosedur bisa diatur. Habis energi kita kalau berdebat di situ.
Faktanya, mereka sedang berkuasa dan bisa bikin apa saja terjadi: bekas Menristek yang juga Komisaris Utama Telkom merangkap jabatan komisaris di Bukapalak, Astra, hingga Indofood, bisa terjadi; Rektor UI yang heboh karena rangkap jabatan dengan Komisaris BRI padahal Statuta melarang, bisa terjadi, dan beberapa hari lalu situasi seperti tidak apa-apa lagi sehingga dia pun menulis artikel di Kompas dan ‘menguliahi’ kita semua tentang perbaikan ekonomi.
Anda bisa nilai sendiri betapa murahnya martabat orang-orang itu!
Kita bicara soal yang lebih besar: Revolusi Mental.
Konon, ada seorang pemikir bangsa yang baik hati dan berasal dari kalangan jelata, mengusung jargon itu. Indonesia butuh revolusi mental. Pengagum bacaan Sin Chan dan Doraemon itu namanya Joko Widodo. Artikel khususnya ada di Kompas edisi 10 Mei 2014 berjudul: Revolusi Mental. Atribut penulisnya gagah betul: Calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Hari ini Kompas memuat foto Jokowi ketika video call dengan peraih medali emas Paralimpiade Tokyo. Latar belakangnya ada lemari berisi buku-buku di Istana Bogor. Kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, “buku-buku itu dibaca Jokowi jika ada waktu di sela tugasnya memimpin negeri ini.”
Berarti kita asumsikan saja Jokowi memang brilian dengan gagasan aslinya tentang Revolusi Mental dan artikel di Kompas itu dia tulis sendiri. Ceritanya begitu, biar terlihat intelek ketika nyapres.
“Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.”
“Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.”
Dalam sebuah kesempatan ketika ditanya wartawan, apa itu revolusi mental, dia jawab begini:
Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. “Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem. Yang seperti itulah yang merusak mental,” ujar Jokowi.
Kecapnya manis betul, bikin kita melambung pakai baling-baling bambu.
Sekarang, yang lebih parah lagi, bukan ndak ada lagi yang nge-rem tapi remnya itu sendiri sudah rusak. Mulai dari ‘hal kecil’ macam membawa rombongan keluarga makan di BUMN, proyek kakak menteri di BUMN, praktik rangkap jabatan, korupsi bansos, laporan pencemaran nama baik terhadap NGO pengawas korupsi, dan sebagainya adalah manifestasi revolusi mental yang bisa kita lihat dengan kasat-mata.
Gus, apa Jokowi tidak ada bagusnya di mata kamu?
Tidak ada. Kalau di dinding ini tidak ada!
Entah di media lain yang ada anggaran publikasinya dari negara atau para komprador ekonomi.(Roy MOI)