Pengamat Kebijakan Publik : Penetapan Komisioner KI Oleh Komisi A DPRD Sumut Dinilai Cacat Prosedur
Medan – Penetapan Komisioner Komisi Informasi Publik Sumatera Utara (KIP Sumut) di Komisi A DPRD Sumut, bisa dinilai cacat prosedur dan tidak memiliki legitimasi dimata hukum. Karenanya, harus dinyatakan batal demi hukum.
Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Ramayadi diingatkan, sebaiknya tidak buru-buru melantik Komisioner KIP Sumut yang baru tersebut, karena tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata hukum. Kalaupun dipaksakan dilantik, maka kelima Komisioner itu akan “tersandera” oleh legitimasi yang menyebabkan masa pengabdian mereka pada priode 2021-2025 menjadi illegal.
Pernyataan untuk mengingatkan Gubernur Sumut, Edy Ramayadi tersebut dikemukakan oleh Pengamat Kebijakan Publik, Fakhruddin kepada para awak media, saat menanggapi adanya pembiaran dalam mengambil kebijakan demi kepentingan publik, Selasa (30/11/2021).
Dikemukakan Kocu panggilan akrab Fakhruddin, bahwa penetapan kelima nama Komisioner KIP Sumut priode 2021-2025 di Komisi A DPRD Sumut, patut diduga telah menabrak aturan main dan prosedural yang berlaku. Dimana, nuansa politik lebih menonjol, dengan mengabaikan tahapan-tahapan yang telah diatur dengan tatanan hukum resmi.
Sangat jelas bahwa acuan utama penetapan calon Komisioner KIP, adalah Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016, tetapi faktanya yang terjadi adalah kepentingan oknum menjadi acuan utama.
Untuk diketahui, bahwa lima prosedur yang tidak dijalankan sehingga membuat hasil penetapan cacat prosedur dan tidak memiliki legitimasi tersebut adalah :
1. Pasal 20 Ayat 5 Perki Nomor 4 Tahun 2016 tidak terpenuhi, sebab penentuan peringkat dilakukan berdasarkan dukungan Fraksi. Bukan hasil skoring para peserta dalam uji kelayakan dan kepatutan. Uji kepatutan digelar pada 3 November 2021, tapi DPRD Sumut cq Komisi A DPRD Sumut yang menguji tidak memberi skor atau alat penilaian untuk mengukur peringkat prestasi calon yang diuji. Parameternya tidak ada, hanya atas pertimbangan Fraksi, sehingga cacat prosedur dan legitimasi.
2. Pemilihan ke-5 Komisioner juga tidak dilaksanakan dalam forum terbuka, sehingga publik atau pers tidak tahu siapa pemilik suara terbanyak dan sebaliknya.
3. Tempat pemilihan dan jadwal pemilihan juga tidak diketahui publik, tiba-tiba sudah beredar di group WA nama 5 Komisioner yang tetapkan oleh Komisi A DPRD Sumut.
4. Komisi A DPRD Sumut tidak mengumumkan nama dan skor 5 Komisioner terpilih di 2 media Nasional 2 hari berturut-turut sesuai ketentuan Pasal 20 ayat 5 Perki Nomor 4 tahun 2016.
5. Komisi A DPRD Sumut patut disinyalir telah melakukan “abuse of fower” atau menyalahgunaan kekuasaan dalam menetapkan Komisioner KIP Sumut.
Padahal undang-undang memberi kewenangan untuk uji kelayakan dengan skoring atau peringkat, tapi Komisi A DPRD Sumut malah menetapkan hanya dengan pertimbangan Fraksi masing-masing.
“Jika prosedur hukum dijalankan, akan sulit mengatur skor calon fraksi lebih tinggi dari skor calon yang tidak diusung fraksi. Akibatnya, DPRD Sumut nekad menabrak prosedur dengan abuse of fower”. Padahal , abuse of fower adalah penyimpangan dalam jabatan atau tindakan yang melanggar hukum,” pungkas Fakhruddin. (MC.Badai)