Permahi Aceh Dorong Pemerintah Sosialisasi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021
Banda Aceh- Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Aceh, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Muhammad Rifqi Maulana, mendorong kepada pemerintah agar mensosialisasikan peraturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 tahun 2021.
Sosialisasi dapat dilakukan oleh instrumen pemerintah yang meneken peraturan (Permendikbud Ristek) Nomor 30 tahun 2021 yaitu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadim Makarim.
Terkait peraturan (Permendikbud Ristek) Nomor 30 tahun 2021 yang banyak menjadi perdebatan, terkandung didalam Pasal 5 di mana terdapat frasa “tanpa persetujuan korban”. Hal itu bukanlah menjadi sebuah permasalahan. Menurutnya, Permendikbud itu rumusan pasal kekerasan seksual, maka yang namanya aksi kekerasan atau pelecehan itu tentunya unwelcome atau tidak dikehendaki oleh korban.
Oleh karena itu Rifqi meminta Nadim Makarim mensosialisasikan aturan permendikbud Nomor 30 tahun 2021 yang pada rumusan Pasal 5, “Beberapa pihak menganggap jika ada persetujuan korban berarti legal, karena terdapat frasa berbasis persetujuan korban. Tentu tidak, ucap Rifqi
“Karena kesalahpahaman itulah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek Nadiem Makarim wajib mensosialisasikan regulasi hukum yang sudah ditekennya agar supremasi hukum tersebut bermanfaat bagi masyarakat serta pelajar. Jadi, masyarakat paham akan aturan tersebut. Jika terjadi persetujuan yang mengarah ke perbuatan tak senonoh, perbuatan yang kurang etis tersebut akan terkena sanksi norma kesusilaan yang dimiliki kampus.
Permendikbud ini mengatur mengenai aksi kekerasan dan pelecehan. Sehingga bilamana mengenai aksi perzinahan suka sama suka, terkena pada peraturan akademik yang pada umumnya pasti dimiliki oleh perguruan tinggi.
“Jika ditinjau perguruan tinggi tentu ada norma yang lain. Berarti peraturan akademik melanggar kesusilaan kan nggak boleh. Baik itu sama suka maupun yang tidak atau dengan paksaan. Jadi regulasi tersebut tidak Ada problem pada rumusan pasal kekerasan seksual itu,” terang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam tersebut.
Pada situasi saat ini, terkait Permendikbud itu, dalam membaca aturan oleh beberapa pihak menurutnya terjadi Miss-Rading. Sesuai judul dari Permendikbud ini yakni mengenai kekerasan atau pelecehannya.
Dari segi lain, Rifqi menjelaskan dalam implementasi Permendikbud ini diharuskan terdapat pendampingan dari sisi hukum maupun psikologi yang sudah diatur didalam Permendikbud. Jadi, Polemik bisa saja terjadi di kalangan kampus apabila tidak memiliki fakultas Hukum dan psikologi.
Ketika pelaksanaan Permendikbud itu dengan keharusan pendampingan hukum maupun psikologi, maka, mau tak mau kampus harus mengeluarkan dana lebih untuk memenuhi hal tersebut. Akan tetapi bisa menjadi permasalahan, jika kampus memiliki anggaran operasional terbatas.
“Apalagi kalau ini nggak ditaati, bantuan dana dihentikan atau akreditasi diturunkan. Sanksinya itu terlalu berat. Ini yang mungkin jadi keberatan kampus. Karena belum tentu semua perguruan tinggi siap,” pungkasnya.
Di Pasal 19 Permendikbud 30/2021 disampaikan, perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administrasi berupa: penghentian bantuan keuangan atau sarana prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau penurunan tingkat akreditasi.(MC.Badai)