Berita TerbaruNasionalPeristiwaPolitikRagamRedaksi

Senasib Dengan Wadas, Konflik Sengketa Tambak Di Lamongan Makin Memanas Pasca Mediasi Deadlock

Lamongan Badainews.com- Usai mediasi sengketa lahan kerapu di Desa Labuhan, Kecamatan Brondong mengalami Deadlock. Akhirnya ahli waris yang didukung oleh warga Dusun Cumpleng, Desa Brengkok, menutup akses jalan masuk menuju lahan tambak KM-1 yang di sengketakan.

Seperti diberitakan sebelumnya, sengketa lahan ini bermula dari kerjasama budi daya ikan kerapu antara Muntaha (alm), warga asal Desa Brengkok Kecamatan Brondong. Dengan Killy Chandra asal Medan, di lahan tambak KM-1 (Killy dan Muntaha 1) yang saat itu statusnya masih sewa dari pemilik aslinya Sujarwo.

Seiring berjalannya waktu, lahan tambak KM-1 dengan luas lahan sekitar 6 hektar dan terdiri dari 18 petak (kolam). Dibeli secara bersama dan memakai uang hasil usaha dari Sujarwo dengan nilai Rp. 2 Miliar tersebut diduga secara sepihak akan dikuasai oleh Killy Chandra dan anaknya Matt Kayne selaku Direktur PT SBM (Sumatera Budidaya Marine). Yang sebelumnya melakukan kerjasama budidaya tersebut dengan Muntaha (alm).

Ahli waris Muntaha (alm) mengklaim, bahwa dulu pernah ada kesepakatan bersama yang dibuat secara lisan. Antara Muntaha (alm), Sukarno dan Killy Chandra. Yang disaksikan langsung oleh Mukminatun selaku isteri Muntaha (alm).

“Dari kesepakatan bersama tersebut, telah disepakati bahwa hak masing-masing untuk tambak KM-1 adalah 30 persen untuk Muntaha, 30 persen untuk Soekarno, lalu 40 persen untuk Killy,” ujar Halimatus Sa’diyah kepada wartawan, Selasa (1/3/2022).

“Tiba-tiba saat ini, lahan tambak KM-1 tersebut di klaim sebagai hak milik pribadi oleh Matt Kayne, anak dari Killy Chandra. Dan akan dikuasai sendiri 100 persen, atas dasar surat pernyataan jual beli tanah KM-1 tertanggal 11 September 2013 silam. Karena itulah kami gugat di Pengadilan Negeri Lamongan,” lanjut Halimah.

Sedangkan Kuasa Hukum ahli waris Muntaha (alm), Khoirul Amin menjelaskan. Bahwa atas perbuatan sepihak yang dilakukan oleh Killy dan anaknya, telah menyebabkan kliennya mengalami kerugian yang besar. Maka ahli waris memutuskan untuk melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Lamongan.

“Kami sudah beritikad baik dan menawarkan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, dengan pembagian hak yang pernah disepakati dan sesuai dengan gugatan. Namun mediasi deadlock, karena tergugat kekeh tetap ingin memiliki tambak KM-1 tersebut 100 persen. Pemblokiran jalan ini dilakukan oleh ahli waris dan didukung warga masyarakat, karena jalan negosiasi secara kekeluargaan sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil,” jelas Khoirul Amin, selaku Kuasa Hukum ahli waris.

Khoirul menambahkan, bahwa penutupan akses jalan oleh ahli waris yang didukung oleh warga setempat. Sebagai bentuk solidaritas dalam membantu ahli waris melawan PT SBM, demi menuntut keadilan dan ahli waris dapat memperoleh haknya.

“Ini bukan akses jalan dusun ataupun jalan desa, tapi ini tanah milik pribadi yang selama ini pihak ahli waris mengikhlaskan untuk jalan umum. Termasuk untuk akses jalan PT SBM, tapi karena PT SBM dianggap tidak memiliki itikad baik dan kurang menghargai masyarakat, akhirnya ahli waris memutuskan untuk menutup akses jalan ini untuk PT SBM, yang notabennya perusahan asing bukan asli Lamongan, sebagai bentuk perlawanan,” tegasnya.

Sebelumnya, Khoirul menceritakan, bahwa warga dan pemuda setempat juga sempat melakukan pemblokiran jalan dusun karena lalu lalang truk PT SBM yang dinilai telah merusak jalan.

Berbeda dengan sebelumnya, jalan yang ditutup kali ini berada di lahan pribadi milik Sarbuning (82), warga Desa Labuhan Kecamatan Brondong, yang disewa oleh Muntaha (alm) dan dilanjutkan oleh ahli warisnya.

“Selama dalam masa sewa, Sarbuning telah memberikan kuasa penuh kepada Muntaha (alm) beserta ahli warisnya untuk mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut, termasuk wewenang memberikan izin atau tidaknya kepada pihak lain saat melewati akses jalan lahan tambaknya,” tegas Sekjen PP GPI tersebut.

“Kami tetap menghargai proses hukum yang sedang berjalan di Pengadilan, terkait sengketa di tambak KM-1 maupun KM-2 sampai berkekuatan hukum tetap. Tapi penutupan akses jalan ini tidak ada hubungannya dengan tanah yang disengketakan, baik di KM-1 dan KM-2,” tambah Khoirul Amin.

Di sekitaran lokasi lahan tambak sengketa ini, ahli waris dan warga juga mendirikan Posko Gerakan Pribumi Bangkit sebagai simbol perlawanan. Bahkan, aksi mereka juga mendapat dukungan penuh dari sejumlah aktivis dan organisasi.

Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah aktivis tersebut di antaranya berasal dari Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LKPM), Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jatim, Kesatuan Pemuda Pantura Lamongan (Kapal), Madani Institut, Forum Diskusi Poros Pantura (FDPP), Aliansi Petani Indonesia (API) Jatim, dan Aliansi Petani Tambak Pantura (Alpatara).

“Dulu mereka sempat membayar kompensasi sebesar Rp 25 juta untuk pemakaian jalan dusun. Namun untuk jalan yang kami blokir hari ini adalah jalan pribadi, bukan jalan dusun. Jalan ini akan terus ditutup selama PT SBM atau Killy Chandra tidak menunjukan itikad baik dan bisa diajak negosiasi secara kekeluargaan,” paparnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Para Tergugat, Harimuddin mengungkapkan jika pihaknya sangat menyayangkan atas adanya aksi pemblokiran jalan yang dilakukan warga dan ahli waris tersebut.

“Kami sangat menyayangkan sikap penggugat (ahli waris Muntaha) yang menutup jalan untuk klien kami memasukan pakan ke tambak KM-1, di tengah proses hukum yang sedang berjalan di PN Lamongan,” ungkap Harimuddin, saat dikonfirmasi secara terpisah, Selasa (1/3/2022).

Menurut Harimuddin, mestinya aksi penutupan jalan ini tak terjadi karena saat ini masih menunggu putusan PN Lamongan. Ia menyebut, sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, baik penggugat maupun tergugat masing-masing seharusnya masih bisa memanfaatkan 50 persen atas KM-1 maupun KM-2.

Masih kata Harimuddin, ia dan kliennya bahkan mengaku sangat keberatan dengan adanya narasi melalui banner bertuliskan “Gerakan Pribumi Bangkit” yang terpasang di jalan menuju tambak.

“Ini jelas berbau sara. Karena penggunaan istilah pribumi dan non pribumi sudah dihapus dengan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dan juga tidak sejalan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” bebernya.

Oleh sebab itu, pihaknya berharap agar penggugat kembali membuka akses jalan untuk kliennya sambil menunggu putusan PN Lamongan hingga berkekuatan hukum tetap.

“Ini persoalan perdata antara klien kami selaku tergugat dengan ahli waris Bapak Muntaha selaku penggugat. Klien kami tidak bermasalah dengan Pemuda dan Masyarakat Dusun Cumpleng, termasuk masyarakat petambak di Lamongan pada umumnya,” tandasnya.

Seperti diketahui, pengukuran lahan tambak kerapu di desa setempat sempat berlangsung tegang dan ricuh, pada Jumat (14/1/2022) lalu. Kala itu, petugas BPN bersama aparat yang hendak melakukan pengukuran dihadang oleh warga setempat lantaran status sengketa lahan tambak masih diproses secara hukum di PN.

Lalu, hasil mediasi antara kedua belah pihak yang berlangsung di ruang mediasi Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Lamongan, pada Kamis (24/2/2022) lalu menemukan jalan buntu atau deadlock.

Sehingga, sidang sengketa ini akan digelar pada 9 Maret 2022 mendatang, dengan agenda pembacaan gugatan dari pihak penggugat. Lalu persidangan akan dilanjutkan kembali terkait jawaban tergugat dalam menindaklanjuti gugatan tersebut. (MC.Badai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *